Thursday, February 18, 2016

Muslimah Sebaiknya Berambut Pendek atau Panjang?

Sudah menjadi kodrat bagi kaum hawa yang selalu ingin tampil cantik. Diantara periasan yang membuat wanita tampil cantik dan feminim terutama bagi suaminya adalah rambut. Seorang istri dianjurkan untuk merias diri di depan suami. Termasuk persoalan menata rambut. Namun bolehkah seorang wanita memangkas rambut yang sering disebut mahkota perempuan itu?

Para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini. Terkait memendekkan rambut bagi wanita, ulama Syafi’iyah membolehkannya. Dalam Roudhotuth Tholibin disebutkan, sebuah riwayat dari Abu Salmah bin Abdurrahman, ia mengatakan, "Aku pernah menemui Aisyah RA bersama saudara sepersusuan Aisyah. Dia bertanya pada Aisyah mengenai mandi janabah yang dilakukan oleh Nabi SAW. Saudarinya tersebut mengatakan bahwa istri-istri Nabi SAW mengambil (memendekkan) rambut kepalanya sampai ada yang tidak melebihi ujung telinga." (HR Muslim).

Inilah alasannya para ulama Syafi'iyah membolehkan kaum wanita untuk memendekkan rambut. Imam Nawawi dalam Syarh Muslimmenegaskan, "Dalil ini menunjukkan bolehnya memendekkan rambut bagi wanita."

Sedangkan ulama Hanbali berpendapat, makruh hukumnya bagi wanita untuk memendekkan rambut. Terkecuali ada uzur atau hal-hal yang mengharuskannya memotong rambutnya. Seperti masalah yang umum dialami para wanita adalah kerontokan rambut yang dikhawatirkan bisa mengalami kebotakan.
Ada pula masalah rambut seperti kutu yang sudah sangat parah sehingga rambutnya harus dipotong. Ulama Hanbali dalam kasus ini turut membolehkannya. Namun, sebahagian ulama Hanbali lainnya mengharamkan memotong rambut bagi wanita jika tanpa uzur atau alasan sama sekali.

Dari dua pendapat ini, pendapat pertamalah yang paling rajih (kuat) dan bisa diambil pedoman hukum. Namun, memotong rambut bagi wanita bukan untuk meniru model dan gaya hidup kaum kafir.
Demikian juga, meniru model rambut laki-laki juga diharamkan walau sejatinya Muslimah tetap mengenakan jilbab. Hal ini ditegaskan dalam hadis, "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat lelaki yang menyerupai wanita dan (melaknat) wanita yang menyerupai lelaki." (HR Bukhari).

Hukum asal potong rambut bagi wanita adalah boleh. Batasan potong rambut bagi wanita adalah selama tidak melanggar dua hal, yaitu menyerupai lelaki dan menyerupai orang kafir.

Sudah menjadi kodrat bagi kaum hawa yang selalu ingin tampil cantik. Di antara perhiasan yang membuat wanita tam pil cantik dan feminin, terutama bagi suaminya, adalah rambut. 

Seorang istri dianjurkan untuk merias diri di depan suami, termasuk persoalan menata rambut. Namun, bolehkah seorang wanita memangkas rambut yang sering disebut mahkota perempuan itu?

Para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini. Terkait memendekkan rambut bagi wanita, ulama Syafi’iyah membolehkannya. 

Dalam Raudhatuth Thalibin disebutkan, sebuah riwayat dari Abu Salmah bin Abdurrahman, ia mengatakan, “Aku pernah menemui Aisyah RA bersama saudara sepersusuan Aisyah. Dia bertanya pada Aisyah mengenai mandi janabah yang dilakukan oleh Nabi SAW. Saudarinya tersebut mengatakan bahwa istri-istri Nabi SAW mengambil (memendekkan) rambut kepalanya sampai ada yang tidak melebihi ujung telinga.” (HR Muslim).

Inilah alasannya para ulama Syafi’iyah membolehkan kaum wanita untuk memendekkan rambut. Imam Nawawi dalam Syarh Muslimmenegaskan, “Dalil ini menunjukkan bolehnya memendekkan rambut bagi wanita.”

Sedangkan ulama Hanbali berpendapat, makruh hukumnya bagi wanita untuk memendekkan rambut. Terkecuali ada uzur atau hal-hal yang mengharuskannya memotong rambutnya. 

Seperti masalah yang umum dialami para wanita adalah kerontokan rambut yang dikhawatirkan bisa mengalami kebotakan. 

Ada pula masalah rambut seperti kutu yang sudah sangat parah sehingga rambutnya harus dipotong. 

Ulama Hanbali dalam kasus ini turut membolehkannya. Namun, sebagian ulama Hanbali lainnya mengharamkan memotong rambut bagi wanita jika tanpa uzur atau alasan sama sekali.

Dari dua pendapat ini, pendapat pertamalah yang paling rajih (kuat) dan bisa diambil pedoman hukumnya. Namun, memotong rambut bagi wanita bukan untuk meniru model dan gaya hidup kaum kafir. 

Demikian juga, meniru model rambut lakilaki juga diharamkan walau sejatinya Muslimah tetap mengenakan jilbab. 

Hal ini ditegaskan dalam hadis, “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melaknat lelaki yang menyerupai wanita dan (melaknat) wanita yang menyerupai lelaki.” (HR Bukhari).

Sebenarnya, tidak ada dalil sarih (tegas dan lugas) yang melarang atau menganjurkan wanita memendekkan rambutnya. Bahkan, tahalul (memotong rambut) dalam ibadah haji atau umrah hanya memotong beberapa helai rambut. 

Dalam riwayat Abu Zur’ah yang tercantum dalam Tarikh Dimsyaq(1/88) disebutkan, “Wanita tidak boleh mencukur habis rambutnya, tetapi boleh memendekkannya.”

Hal yang sama juga pernah difatwakan Syekh Khalid al-Muslih. Dalam sebuah tayangan program Al-Jawab Al-Kafi di channel Al-Majd, Syekh Khalid pernah ditanya tentang batasan potong rambut bagi wanita.

Jawabannya, “Hukum asal potong rambut bagi wanita adalah boleh. Batasan potong rambut bagi wanita adalah selama tidak melanggar dua hal, yaitu menyerupai lelaki dan menyerupai orang kafir. Adapun selain itu, maka hukumnya boleh.” 

Sedangkan, hukum membotaki rambut bagi wanita selain untuk tujuan pengobatan adalah haram. 

Hal ini ditegaskan dalam hadis, “Rasulullah SAW melarang wanita mencukur (membotaki) rambutnya.” (HR Tirmidzi).

Dr Ahmad al-Syarbasi menambahkan, wanita yang mencukur habis rambutnya menyerupai tradisi jahiliyah yang sempat dilarang. Pada masa jahiliyah, wanita mencukur habis rambut mereka sebagai tanda berkabung dari kematian. 

Menyerupai kaum jahiliyah atau kafir juga diharamkan, sebagaimana hadis Rasulullah SAW. “Siapa yang meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk kaum tersebut.” (HR Abu Daud). 

Meniru suatu kaum akan digolongkan sebagai bahagian dari kaum tersebut. Jadi, meniru orang kafir sama saja dengan mendaftar sebagai anggota orang kafir. Di samping itu, wanita yang botak menyerupai laki-laki juga secara tegas telah dilarang Rasul SAW.

Adapun yang lebih afdhal (utama) bagi wanita adalah tetap membiarkan rambutnya ter urai panjang. Wanita yang merawat dirinya dan bersolek untuk suaminya dihitung sebagai ibadah. Tentu saja, menyisir rambut bagi wanita dalam rangka bersolek untuk suami juga dinilai ibadah. 

Wanita diharapkan bisa merawat dirinya, termasuk urusan rambut agar rambut menjadi perhiasan dan mempercantik dirinya. Dalam hadis disebutkan, “Siapa yang mempunyai rambut (indah), maka muliakanlah (pelihara lah).” (HR Abu Dawud). 

Intinya, rambut pendek bagi wanita tidaklah masalah. Yang paling penting kemuliaan yang diberikan Allah kepadanya berupa rambut hanya diperuntukkan bagi mahram dan suaminya. 

Labels:

Bolehkah Memotong Rambut dan Kuku Ketika Haid?

Berkembang pemahaman di masyarakat, orang yang tengah haid dilarang memotong kuku dan rambut. Alasannya, dalam kondisi itu orang tersebut tidak dalam keadaan suci. Jadi rambut dan kuku yang terpisah dari tubuhnya tentu juga tidak suci. Jika rambut dan kuku ini dibuang, ia akan bermasalah di hari Kiamat nanti.

Analoginya, di hari berbangkit setiap orang akan dikembalikan lagi seluruh anggota tubuhnya secara sempurna sebagaimana di dunia. Jika ada anggota tubuh yang dibuang seperti rambut dan kuku dalam keadaan tidak suci, tentu ia akan kembali dalam keadaan tidak suci pula. Ini akan menjadi aib bagi dirinya karena beberapa anggota tubuh seperti rambut dan kuku yang najis atau tidak suci. Benarkah demikian?

Permasalahan ini kerap ditanyakan kepada para ulama. Larangan memotong kuku dan rambut kerap disamakan dengan orang yang berqurban. Sebagaimana hadis Nabi SAW, orang yang berqurban dilarang untuk memotong rambut dan kuku terhitung saat memasuki tanggal 1 Zulhijjah. (HR Muslim).

Namun persoalan wanita yang sedang haid, nifas, atau junub, tidak ditemui satupun pendapat ulama yang mengakomodir larangan untuk memotong kuku atau rambut. Dalilnya, karena memang tidak ditemui dalil yang melarangnya.

Ibnu Taimiyah dalam kitab fenomenalnya Majmu’ Al-Fatawa, (21/120-121) pernah mengupas persoalan ini. Fatwa Ibnu Taimiyah berasal dari pertanyaan orang kepadanya pasal boleh-tidaknya memotong rambut atau kuku saat junub atau haid. Ibnu Taimiyah membantah jika memotong rambut atau kuku saat haid punya kaitan dengan hari berbangkit sebagaimana diisukan.

Menurut Ibnu Taimiyah, seorang mukmin tak boleh disebut najis. Ini berdalil dengan hadis Nabi SAW, "Sesungguhnya orang Islam itu tidak najis." (HR Bukhari Muslim). Bahkan jika seorang mukmin yang sudah meninggal, jenazahnya tidak disebut najis (HR Hakim). Sebutan Najis hanya bagi orang kafir saja. Firman Allah SWT, "Hanyalah orang-orang musyrik itu najis." (QS at-Taubah [10]: 28). Adapun orang haid dan nifas hanya darahnya saja yang najis, bukan orangnya. Demikian pula bagi orang yang junub.

Dalam hadis Nabi SAW dan atsar para sahabat ditemui anjuran bagi wanita haid dan nifas untuk memelihara kebersihan. Misalkan, orang yang haid dianjurkan untuk mandi dan menyisir rambutnya. Padahal bagi sebahagian wanita yang mengalami kerontokan, menyisir rambut dapat mencabut sebahagian rambut.

Hal ini terjadi kepada istri Nabi SAW, Aisyah RA. Ketika Aisyah RA menunaikan haji Wada' bersama Nabi SAW, ia mendapati dirinya haid. Nabi SAW memintanya untuk mandi dan bersisir. "Uraikan rambutmu dan bersisirlah. Serta berihlal (talbiyah) dengan haji dan tinggalkan umroh," sabda Beliau SAW. (HR Bukhari Muslim).

Ahli fiqh Mazhab Syafi'iyah secara tegas memperbolehkan kaum wanita yang haid atau nifas memotong kuku, mencukur bulu ketiak/ kemaluan, dan seterusnya. Tak ada keterangan jika melakukan hal-hal tersebut akan berdampak buruk di hari berbangkit nanti. Demikian diterangkan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj (4/56).

Mufti Arab Saudi, Syekh Ibnu Utsaimin dalam kumpulan fatawa Az-Ziinah Wal Mar’ah karangannya juga disinggung persoalan ini. Syekh Utsaimin membantah jika orang yang tengah haid, nifas, atau junub dilarang untuk memotong kuku dan rambut. Malahan orang yang haid dan nifas sebenarnya dianjurkan memelihara kebersihan tubuhnya seperti memotong kuku dan bercukur.

Al-Utsaimin menambahkan, jika wanita yang haid atau nifas mengalami mimpi basah, ia dianjurkan untuk mandi janabat sebagaimana waktu ia suci. Demikian juga jika ia bercumbu dengan suaminya tanpa jima' yang sampai keluar mani. Maka wanita ini tetap melakukan mandi janabah walau ia dalam keadaan haid dan nifas.

Muhammad bin Yusuf Al-Ibadhi dalam kitabnya Syarkh An-Nail Wa Syifai Alil (1/347) menyebut pemahaman yang melarang wanita haid dan nifas memotong kuku/ rambut tersebut sebagai perkara bid'ah. Yang demikian jika ia meyakini akan berpengaruh pada hari berbangkit. Umat Islam dilarang untuk mengharamkan perkara yang dibolehkan. Sebagaimana dilarang untuk membolehkan perkara yang dihalalkan.

Hadis Rasulullah SAW menegaskan, "Sesungguhnya yang paling besar dosa dan kejahatannya dari kaum muslimin adalah orang yang bertanya tentang hal yang tidak diharamkan, lantas hal tersebut menjadi diharamkan karena pertanyaannya tadi." (HR Bukhari). Dalam persoalan memotong rambut atau kuku bagi wanita haid dan nifas hukumnya boleh. Tidak boleh disebut makruh, apalagi haram tanpa ada dalil yang menerangkan. Wallahu'alam.

Labels:

Kemilau Kitab Kuning

Sudah menjadi karakteristik, kitab-kitab Islam yang ditulis dengan aksara Arab atau Arab Melayu memakai kertas berwarna kuning. Istilah kitab kuning sudah melekat untuk menamai kitab-kitab keislaman tersebut. 

Ada juga yang menamainya dengan kitab gundul karena tulisannya yang merupakan aksara Arab tersebut tidak memiliki harakat atau syakl (tanda baca).

Kertas berwarna kuning merupakan jenis kertas dengan kualitas yang paling rendah dan murah. Bahkan, tak jarang ditemui pada kitab-kitab kuning tersebut lembarannya tak terjilid sehingga mudah diambil bagian-bagian yang diperlukan tanpa harus membawa satu kitab secara utuh.

Karena, kitab-kitab tersebut biasanya hanya beredar di kalangan pesantren, tak jarang para santri hanya membawa lembaran-lembaran tertentu yang akan dipelajari. Itulah mungkin alasan mengapa kitab tersebut tidak dijilid layaknya buku-buku biasa.

Umumnya, kitab kuning ditulis tidak memiliki paragraf yang bisa mengatur alinea demi alinea. Biasanya, seluruh kitab ditulis secara bersambung dari awal hingga akhir buku.

Bahkan, tak jarang tempat yang sedikit tersisa di luar kolom pun dimanfaatkan untuk menulis syarah (penjelasan) saat pelajaran. 

Hal ini nyaris tidak menyisakan sedikit pun tempat kosong di dalam halaman kitab tersebut karena terisi seluruhnya oleh tulisan. Kemungkinan, teknik seperti ini dilakukan untuk penghematan kertas.

Seiring perkembangan zaman, akhir-akhir ini kitab kuning sudah mengalami perubahan ketika dicetak ulang. Kitab kuning cetakan baru sudah banyak yang memakai kertas putih yang umum dipakai dalam dunia percetakan. 

Demikian juga, sudah banyak kitab di antaranya tidak gundul lagi karena telah diberi harakat untuk lebih memudahkan pembaca. Dan, seperti layaknya sebuah buku, sebagian besar kitab kuning yang telah bewarna putih tersebut sudah dijilid.

Dari penampilan fisiknya, kini kitab kuning tidak mudah lagi dibedakan dari kitab-kitab baru yang biasanya disebut al-kutub al-‘asriyyah (buku-buku modern). Kini, perbedaannya terletak pada isi, sistematika, metodologi, bahasa, dan pengarangnya.

Timur Tengah sebagai daerah asalnya, kitab kuning disebut dengan al-Kutub al-Qadimah (buku-buku klasik) sebagai sandingan dan al-Kutub al-'asriyyah. 

Al-Kutub al-Qadimah yang beredar di Indonesia (di kalangan pesantren) sangat terbatas jenis dan jumlahnya. Yang sangat dikenal adalah kitab-kitab yang berisi ilmu-ilmu syariat, khususnya ilmu fikih. 

Ilmu-ilmu syariat lainnya adalah tasawuf, tafsir, hadis, akidah, dan tarikh. Sedangkan, dari khazanah keilmuan nonsyariat, yang banyak dikenal ialah kitab-kitab nahwu dan sharaf (tata bahasa Arab) yang mutlak diperlukan sebagai ilmu alat untuk membaca kitab gundul.

Dilihat dari ciri-ciri umum kitab kuning, penyajian setiap materi dari satu pokok bahasan selalu diawali dengan mengemukakan definisi yang tajam.

Definisi tersebut memberi batasan pengertian secara jelas untuk menghindari salah pengertian terhadap masaiah yang sedang dibahas.

Selanjutnya, setiap materi bahasan diuraikan unsur-unsurnya dengan segala syarat yang berkaitan dengan objek pembebasan. Pada tingkat syarfr (ulasan komentar) dijelaskan pula argumentasi penulisnya lengkap dengan penunjukan sumber hukumnya.

Selain itu, jika dilihat dari kandungan maknanya, kitab kuning dapat dikelompokkan menjadi dua macam. Pertama, kitab kuning yang berbentuk penawaran atau penyajian ilmu secara polos (naratif), seperti sejarah, hadis, tafsir, dan lain-lainnya. 

Kedua, kitab kuning yang menyampaikan materi berbentuk kaidah-kaidah keilmuan, seperti usul fikih dan mustalah hadis (istilah-istilah yang berkenaan dengan hadis) dan semacamnya.

Sementara, dilihat dari kreativitas penulisannya, kitab kuning dapat dikategorikan menjadi tujuh macam. Pertama, kitab kuning yang menampilkan gagasan baru yang belum pemah dikemukakan oleh penulis-penulis sebelumnya, seperti kitab Ar-Risalah (tentang usul fikih) karya Imam asy-Syaft'i. 

Kedua, kitab kuning yang muncul sebagai penyempurna terhadap karya yang telah ada, seperti kitab Nahw (tata bahasa Arab) karya Sibawaih yang menyempurnakan karya Abu al-Aswad Zalim bin Sufyan ad-Duwali. 

Ketiga, kitab kuning yang berisi komentar (syarh) terhadap kitab yang telah ada, seperti Fath al-Barri Sahih al-Bukhari, karya Ibnu Hajar al-Asqalani yang memberikan komentar terhadap Sahih al-Bukhari.

Selanjutnya, kitab kuning yang meringkas karya yang panjang lebar untuk dijadikan karangan singkat, tetapi padat, seperti kitab fikih Lubb al-Usul karya Syekh al-lslam Zakaria al-Anshari sebagai ringkasan dari Jam' aj-Jawami' Tajuddin bin Abdul Wahhab as-Subki. 

Kelima, kitab kuning berupa kutipan dari berbagai kitab lain, seperti ‘Ulumul Qur’an  karya al-Aufi. Keenam, kitab kuning yang isinya memperbarui sistematika dari kitab-kitab yang telah ada, seperti Ihya' 'Ulumuddin karya Imam al-Ghazali.

Terakhir, kitab kuning yang berisi kritik dan koreksi terhadap kitab-kitab yang telah ada, seperti Mi’yar Al ‘Ilmi yang meluruskan kaidah logika yang telah ada karya Imam al-Ghazali.

Ilmuwan kontemporer Mesir, Dr Jamaluddin Athiyah, yang juga penyusun buku Turats al-Fiqh al-Islam, menyebutkan kitab kuning masih tetap perlu dikaji. 

Athiyah menyatakan, kitab kuning berfungsi sebagai pengantar bagi pembinaan hukum Islam kontemporer. Kemudian, ujar Athiyah, kitab kuning memberi penjelasan tafsir hukum Islam yang masih digunakan oleh hukum positif.

Di pesantren-pesantren, umumnya kitab kuning diajarkan dengan dua cara, yaitu cara sorogan dan bandongan.

Cara sorogan ialah santri satu per satu menghadap kiai dengan membawa kitab tertentu. Kiai membacakan kitab itu beberapa baris dengan makna yang lazim dipakai di pesantren. 

Kemudian, santri mengulangi bacaan kiainya. Demikianlah dilakukan oleh para santri secara bergiliran. Biasanya cara sorogan dilakukan oleh santri yang masih tingkat awal dan terbatas pada kitab-kitab yang kecil saja.

Adapun cara bandongan adalah pengajaran kitab kuning secara klasikal, yakni semua santri menghadap kiai bersamaan.

Kiai membacakan kitab tertentu dengan makna dan penjelasan secukupnya, sementara para santri mendengar dan mencatat penjelasan kiai di pinggir halaman kitabnya.

Cara belajar seperti ini paling banyak dilakukan. Dengan cara bandongan, kitab-kitab yang besar seperti Sahih al-Bukhari dapat ditamatkan dalam waktu yang relatif singkat. Bahkan, ada yang bisa menamatkan dalam waktu tak lebih dari sebulan. 

Labels:

Dahsyatnya Istighfar

Istighfar berasal dari kata gafr yang berarti tutupan atau ampunan. Seorang yang beristighfar berarti memohon kepada Allah SWT agar dosa-dosanya yang telah lalu diampuni dan ditutupi Allah.

Pakar leksikografi Islam dan ilmu kalam, Ali bin Muhammad as-Sayyid as-Sarif Jurjani, mengatakan, maghfirah berarti penutupan atau pengampunan yang dilakukan oleh Yang Mahakuasa terhadap kejahatan yang timbul dari seseorang yang berada di bawah kekuasaan-Nya.

Rasulullah SAW sendiri sangat banyak menganjurkan untuk memohon ampunan Allah SWT di samping Rasul sendiri senantiasa memberikan teladan dengan banyak beristighfar.

Ibnu Qayyim Jauziah mengisyaratkan, makna ampunan itu amat luas, bukan hanya sekadar untuk menghapuskan dosa, melainkan juga sebagai pemelihara manusia dari dosa.

Hal ini merujuk pada hadis yang menjelaskan Rasulullah beristighfar 70 kali dalam riwayat Bukhari. Sementara, dalam riwayat Muslim 100 kali, meski pribadi Rasulullah maksum dari dosa.

Bertolak dari pandangan di atas, Ibnu Qayyim Jauziah ketika membicarakan masalah tobat, mengisyaratkan maghfirah bukan hanya mempunyai satu bentuk, melainkan memiliki beberapa bentuk dan tingkatan, di antaranya adalah: (1) maghfirah sebagai pengampunan dosa; (2) maghfirah sebagai sarana untuk mendapatkan pahala dan rahmat Allah SWT; (3) maghfirah sebagai sarana untuk mendapatkan ridha Allah SWT; dan (4) maghfirah sebagai bukti ketaatan kepada Allah SWT.

Memohon ampun

Jika kita telanjur melakukan perbuatan dosa besar, ada empat hal yang harus dilakukan dalam pertobatan. Pertama, meninggalkan perbuatan maksiat. Kedua, menyesali dosa yang telah dilakukan.

Ketiga, berniat tidak akan kembali melakukan maksiat pada masa yang akan datang untuk selama-lamanya. Keempat, jika dosa besar yang dilakukan seseorang terkait dengan hak-hak manusia (huquq Adam), ia harus mengembalikan hak orang lain tersebut.

Jika dalam perbuatan dosanya terdapat hak-hak Allah SWT (huquq Allah), ia harus menunaikan hak-hak tersebut sesuai dengan ketentuan Islam.

Misalnya, seseorang yang melakukan dosa zina, ia harus menjalani hukuman, yakni didera sebanyak seratus kali. Dan jika pelaku zina itu orang yang sudah menikah, ia harus menerima hukuman rajam. Dengan terlaksananya hukuman tersebut, barulah dosanya akan diampuni Allah SWT.

Di dalam hadis yang diriwayatkan Imran bin Husain disebutkan, “Bahwa seorang perempuan dari suku Juhainah yang sedang hamil karena berzina telah datang kepada Nabi Muhammad SAW sembari berkata, 'Hai Nabi Allah, saya harus menjalani hukuman (karena zina), maka lakukanlah hukuman itu atasku.'

Rasulullah SAW mengimbau walinya sambil berkata, 'Berlaku baiklah kepadanya. Apabila dia telah melahirkan, bawalah dia kepadaku.' Kemudian, Rasulullah SAW memerintahkan agar pakaiannya diperketat, lalu beliau memerintahkan merajamnya, dan beliau melakukan salat jenazah atas (mayat)-nya.

Umar bin Khattab bertanya, 'Mengapa engkau melakukan salat jenazah atasnya Hai Rasulullah, bukankah ia telah berzina?' Rasulullah SAW menjawab, 'Dia telah bertobat dengan suatu tobat, yang seandainya dibagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah, niscaya mereka akan diliputinya. Dan, apakah engkau mendapatkan yang lebih baik daripada orang yang menyerahkan dirinya untuk Allah?’' (HR Muslim).

Dalam mengomentari hadis ini, Muhammad bin Isma'il Kahlani as-San'ani mengatakan, hadis ini menjadi dalil bahwa tobat tidak menghilangkan kewajiban menerima hukuman. Inilah pendapat yang paling kuat di antara dua pendapat dalam Mazhab Syafii’i dan ini pula pendapat jumhur ulama.

Berkenaan dengan cara meminta ampun bagi pelaku dosa kecil, orang yang lalai dalam mematuhi perintah Allah SWT atau orang yang tidak peduli terhadap amal-amal utama tidak berbeda dengan cara meminta ampun bagi pelaku dosa besar.

Hanya saja, pelaku dosa kecil tidak sampai mendapatkan hukuman berat seperti pelaku dosa besar. Di samping itu, ia juga harus melakukan perbuatan-perbuatan baik dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang lain sesuai dengan petunjuk Alquran dan hadis.

Seperti yang dianjurkan Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Tirmizi. "Iringilah kejahatan dengan kebaikan, niscaya ia (kebaikan) akan menghapuskannya (kejahatan).”

Permohonan maghfirah yang dilakukan sebagai sarana untuk mencapai ridha Allah SWT atau sebagai bukti ketaatan kepada-Nya ialah dengan cara senantiasa beristighfar sekalipun merasa tidak melakukan dosa.

Labels:

Hikmah Menahan Amarah

Marah merupakan sebuah fitrah bagi manusia. Tapi, mengendalikan marah adalah sikap manusia bijaksana. Seorang yang marah akan menutup ruang berpikir. Hatinya pun akan tertutup dari kebenaran.

Orang yang tengah marah tidak akan pernah tenang dan akhirnya membuat keputusan yang gegabah. Akhirnya, marah hanya akan menyisakan penyesalan.

Seorang yang marah juga akan mematikan sel-sel baik dalam tubuhnya. Inilah yang menyebabkan marah menjadi sumber penyakit. Tak heran, jika ada pemeo masyarakat yang mengatakan,Orang pemarah akan cepat tua.

Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, seorang sahabat pernah meminta nasihat kepada Rasulullah SAW. “Berilah saya nasihat wahai Rasulullah,” ujarnya.

La taghdab (jangan engkau marah),” jawab Rasulullah singkat. Lelaki itu kembali mengulang pertanyaannya, tapi jawaban Rasulullah tetap saja sama baginya. (HR Bukhari).

Seperti dikisahkan dari Syahid Muthahari dalam Bist Guftar, laki-laki ini pun kembali ke kabilahnya. Secara kebetulan, baru saja ia sampai di kabilahnya, ia dihadapkan pada sebuah situasi kabilahnya akan menggelar perperangan dengan kabilah lain.

Awalnya, ia sempat tersulut emosi karena fanatik kepada kabilahnya. Laki-laki ini pun bertekad untuk ikut bertempur karena ingin membela sukunya.

Tatkala semua perlengkapan perang siap, ia kembali teringat pesan Rasulullah SAW. Ia pun surut dari barisan perang tersebut dan meredam kembali amarahnya.

Ketika ia sudah mulai stabil, pintu hatinya terbuka. Ia bisa berpikir lebih jernih dan menilai permasalahan dengan baik. Akhirnya, ia mencoba untuk mengklarifikasi masalah tersebut dari kedua kubu yang akan berperang.

Akhirnya, solusi pun tercapai. Kedua kubu sepakat untuk berdamai dan terelakkan dari perperangan yang akan merenggut ratusan nyawa itu.

Begitulah seorang yang bijaksana dapat memadamkan kemarahannya dengan nurani dan akal sehat. Ibarat air yang sejuk memadamkan api yang tengah berkobar.

Imam Nawawi mengatakan, makna dari La taghdab dalam hadis Rasulullah SAW tersebut adalah jangan sampai seseorang menumpahkan kemarahan, sehingga membutakan hatinya. Larangan ini bukan tertuju kepada rasa marah itu sendiri.
Jadi, ketika seorang ingin marah, ketika itulah ia bisa menguasai dirinya. Sehingga, rasa marah tidak memengaruhinya untuk bisa berpikir, berucap, dan mengambil keputusan dengan baik dan hati yang jernih.

Seorang yang diselimuti rasa marah hendaklah menenangkan dirinya terlebih dahulu sebelum bertindak atau berucap.
Dalam hadis riwayat Ahmad, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri maka hendaknya dia duduk. Kalau marahnya belum juga hilang maka hendaknya dia berbaring."

Dalam hadis lain juga dikatakan, dianjurkan bagi seorang yang diliputi amarah untuk berwudhu. Alasannya, rasa marah itu datangnya dari setan, sementara setan diciptakan dari api. Jadi, air yang bisa memadamkan api.

Perlu diingat oleh seorang yang diliputi amarah bahwa marah menjadi senjata ampuh bagi setan untuk membinasakannya. Seorang yang diliputi marah akan dengan mudah dikendalikan oleh setan.

Seorang yang marah bisa dengan mudah mengucapkan kalimat kekafiran, menggugat takdir, menghina, mencaci-maki, hingga kalimat talak yang mengakhiri rumah tangganya.

Karena marah pula, ia merusak semua yang ada di sekitarnya. Ia bisa membanting piring, melempar gelas, memukul, bahkan sampai pada tindak pembunuhan.
Di saat itulah, misi setan untuk merusak manusia tercapai. Untuk itulah, seorang yang marah dianjurkan banyak membaca kalimatta’awuz a'udzubillahi minasy syaithanirrajiim. 

Sebagaimana hadis dari Sulaiman bin Surd yang menceritakan, "Suatu hari saya duduk bersama Nabi SAW. Ketika itu, ada dua orang yang saling memaki. Salah satunya, wajahnya telah merah karena diliputi marah. Melihat hal itu, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat, jika dibaca oleh orang ini maka marahnya akan hilang. Jika dia membaca ta’awuz a’udzu billahi minas syaithanir rajiim. marahnya akan hilang.’" (HR Bukhari dan Muslim).

Kabar gembira
Rasulullah bersabda, “Siapa yang berusaha menahan amarahnya, padahal dia mampu meluapkannya maka dia akan Allah panggil di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat, sampai Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang dia kehendaki.'' (HR Abu Daud, Tirmizi, dihasankan oleh al-Albani).

Siapa yang tidak bangga ketika dia dipanggil Allah SWT di hadapan semua makhluk pada hari kiamat untuk menerima balasan yang besar? Semua manusia dan jin menyaksikan orang ini maju di hadapan mereka untuk menerima pahala yang besar dari Allah SWT.

Betapa besar ganjaran yang diberikan Allah SWT di akhirat nanti hanya dengan menahan emosi dan tidak melampiaskan marahnya.
Apalagi, seseorang yang tidak hanya sanggup menahan amarahnya, tetapi juga bisa memaafkan kesalahan orang yang sudah zalim kepadanya serta membalasnya dengan kebaikan pula.

Mula Ali Qori dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Turmudzimengatakan, pujian yang indah dalam hadis tersebut merupakan balasan yang besar hanya karena sebatas menahan emosi. Bagaimana jika ditambahkan dengan sikap memaafkan atau bahkan membalasnya dengan kebaikan.

Jadi, ketika seorang Muslim hendak marah, ingatlah dengan fadilah(keutamaan) yang disampaikan Rasulullah SAW dalam hadisnya tersebut. Betapa besar ganjaran bagi seorang yang berhasil menahan marah.

Hal ini memang cukup sulit. Umumnya, seorang yang marah diliputi emosi yang menutup akalnya untuk berpikir. Sehingga, seorang yang marah lupa dengan tuntunan yang diajarkan Rasulullah SAW untuk mengendalikan amarahnya.

Labels:

Misteri Gunung Emas dari Sungai Eufrat

Dalam hadis-hadis tentang akhir zaman, persoalan Sungai Eufrat yang akan menyibakkan gunung emas terus menjadi berbincangan hangat. Hingga saat ini, belum ada bukti autentik tentang keberadaan gunung emas tersebut. Persoalan ini baru sebatas spekulasi dari para ilmuwan tentang keberadaannya.

Sebagai umat Islam, wajib hukumnya mengimani apa yang telah disabdakan Rasulullah SAW tentang adanya gunung emas tersebut. Sabda Beliau SAW, "Kiamat tidak akan terjadi sehingga Sungai Eufrat surut dan menyibakkan gunung emas. Di atasnya orang-orang berperang sehingga dari setiap seratus orang akan terbunuh sembilan puluh sembilan. Setiap orang dari mereka mengatakan, 'Mudah-mudahan akulah orang yang selamat itu'." (HR Bukhari Muslim).

Hadis lain juga menyebutkan, "Hampir tiba masanya, Sungai Eufrat surut menyingkapkan pembendaharaan emas. Siapa yang menghadirinya, janganlah mengambilnya sedikitpun." (HR Bukhari Muslim).

Kedua hadis sahih ini tak diragukan lagi kebenarannya. Persoalannya, tak seorang pun mengetahui secara pasti tentang letak gunung emas yang dimaksudkan. Hal ini masih ditutup Allah SWT karena ia merupakan tanda-tanda akhir zaman. 

Terkait hal ini, Ibnu Hajar mengatakan, surutnya air Sungai Eufrat akan terjadi menjelang kemunculan al-Mahdi. Demikian pula disebutkan dalam kitab Al-Burhan fi `Alamat al-Mahdi Akhir az-Zaman. Jadi, ada waktu yang ditetapkan Allah SWT kapan Dia akan memperlihatkannya. Tak seorang pun akan mengetahuinya sampai benar-benar disibakkan oleh Allah SWT sendiri.

Di samping itu, beberapa spekulasi dari ilmuwan dan para ulama pun punya beragam penafsiran. Ada yang menafsirkan, gunung emas tersebut hanyalah kiasan. Misalkan, gunung emas bisa dikiaskan dengan minyak bumi karena keduanya mempunyai nilai manfaat yang sama. Hal ini disampaikan Abu Ubaidah dalam ta'liq-nya terhadap kitab An-Nihayah Fil Fitan (1:208) karya Ibnu Katsir. 

Ada juga para ulama yang tetap berpegang pada keaslian nash, yaitu benar-benar gunung emas yang akan muncul. Ulama seperti Syekh Yusuf al-Wabil tidak sependapat jika gunung emas ditafsirkan dengan minyak bumi. Alasannya, minyak bumi tidaklah sama dengan emas. Dalam lafaz hadis disebutkan bahwa air sungai akan menyingkap gunung emas yang dilihat orang. Sedangkan, minyak bumi hanya bisa didapatkan dengan digali dari perut bumi dari dengan menggunakan peralatan.

Lalu, di manakah prediksi gunung emas yang dimaksudkan? Dalam bahasa Arab, "eufrat" atau "al-Furat" berarti air yang paling segar. Menurut Dr Syauqi Abu Khalil dalam Athlas Al-Hadith Al-Nabawi, Eufrat adalah sungai yang mengalir dari timur laut Turki. Ia mengatakan, sungai sepanjang 2.375 kilometer ini membelah Pengunungan Toros, melewati Suriah di Kota Jarablus, melewati Irak di Kota al-Bukmal, dan bertemu Sungai Tigris di al-Qurnah yang bermuara di Teluk Arab.

Cendekiawan Muslim dan pakar sejarah Minangkabau, H Lingga Fachri Lc, juga populer dengan teorinya soal keberadaan gunung emas ini. Dalam kajian tafsirnya di Rumah Qur'an Al Azhar (RQA) Sumatra Barat beberapa waktu lalu, ia punya teori berbeda. Sungai Eufrat menurutnya tidak harus berada di negeri Timur Tengah. Ada sumber lain yang bisa diapsi dan dikaji, seperti dari Taurat (Old Testament). Taurat sendiri juga ada ada berbicara soal gunung emas.

Menurut Direktur RQA ini, dalam Taurat ada suatu tempat bernama Ophir, yaitu suatu pelabuhan antah barantah yang pernah disinggahi Nabi Sulaiman. Ophir sendiri berasal dari bahasa Hibru (Hebrew), yaitu bahasanya orang Yahudi. Lingga mengatakan, saat ini hanya ada satu nama tempat di dunia ini yang bernama Ophir, yaitu sebuah kampung di Kecamatan Suliki Gunung Emas, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. 

Posisi kampung ini berada di aliran sungai yang berasal dari gunung yang disebut warga setempat dengan Gunuang Ameh (Gunung Emas). Di Kecamatan Suliki Gunung Emas ini juga banyak ditemui situs megalitikum dari zaman purbakala. Menurut Lingga, bisa jadi gunung emas yang dimaksudkan ada di sana.

Ia menuturkan, zaman penjajahan Belanda, banyak bongkahan emas yang dibawa penjajah dari kecamatan tersebut. Tempat itu pernah menjadi tambang emas sebelum akhirnya ditutup. Saat ini, Kecamatan Suliki Gunuang Ameh menjadi tempat perburuan batu akik oleh warga setempat. Lingga mengatakan, bagaimanapun teori-teori yang berkembang, tentu saja hal ini masih sebatas teori. Misteri gunung emas yang disebutkan hadis Rasulullah SAW sendiri sampai sekarang belum bisa dijelaskan teknologi modern manapun. Wallahu'alam

Labels:

Dua Shalat Berjamaah Satu Waktu, Bolehkah?

Di beberapa masjid, kebanyakan masjid yang menjadi tempat persinggahan sering didapati fenomena menarik. Terdapat dua, tiga, bahkan lebih kelompok-kelompok yang melaksanakan shalat berjamaah dalam satu ruangan masjid. Mereka yang hendak menunaikan shalat dan mendapati fenomena ini tentu kebingungan. Jamaah manakah yang harus diikuti.
Jika memaknai fenomena ini lebih dalam tentu akan tersirat "perpecahan di tubuh umat Islam. Jangankan soal urusan sosial, politik, dan urusan kemasyarakatan, persoalan pokok yakni shalat saja, mereka sudah berpecah belah menjadi kelompok-kelompok kecil. Bisa juga dipertanyakan, imam manakah yang lebih absah kepemimpinannya di antara kubu-kubu yang shalat berjamaah tersebut?
Perkara ini dibahas secara lugas dalam Tafsir Al Qurtubi Jilid 8 halaman 257. Imam Qur tubi menyebutkan, "Tidak diper bolehkan membuat dua shalat berjamaah dalam satu masjid dengan dua imam. Ini menyalahi seluruh pendapat para ulama." Seluruh ulama sepakat akan ke haraman membuat dua shalat berjamaah atau lebih dalam satu mas jid.
Bahkan Imam Malik secara tegas mengatakan, "Tidak boleh ditegakkan dua shalat berjamaah dalam satu masjid."
Secara logika, dua jamaah shalat berjamaah atau lebih dalam satu masjid menggambarkan perpecahan umat Islam. Jika ada dua kubu kepemimpinan dalam satu tempat, tentu satu sama lain akan bertikai.
Satu imam akan membaca surat al-Fatihah dan ayat Alquran akan beradu suara dengan bacaan imam yang lain.
Demikian juga, suara takbir imam yang satu akan beradu dengan suara takbir imam yang satunya lagi. Intinya, akan ada dua instruksi dari dua imam yang berbeda kepada jamaahnya.
Inilah gambaran perpecahan umat Islam dalam shalat. Jika dalam shalat saja umat Islam sudah berpecah belah dengan dua kubu shalat berjamaah, apalagi nantinya di luar shalat. Tentu perpecahan umat Islam akan semakin nyata. Shalat berjamaah merupakan cerminan kehidupan Islami yang dituntunkan syariat. Semua aspek dalam shalat berjamaah meru pakan cerminan kehidupan umat Islam.
Demikian juga, dilarang bagi makmum untuk mendahului gerak an imam. Para makmum harus mengikuti imam setelah takbir dibacakan. Maknanya, dalam realitas kehidupan sehari-hari umat Islam tidak boleh lancang main hakim sendiri sebelum ada kebijakan pemimpin. Jika seorang pemimpin memerintahkan rakyatnya, wajiblah bagi rakyat untuk mengikuti. Seorang pemimpin juga mencontohkan apa yang ia suruh dengan melakukannya ter lebih dahulu sebelum para makmum mengikutinya.
Realisasi tersebut berujung hing ga ke akhir dari shalat, yakni menoleh ke kanan dan ke kiri. Maknanya, seorang yang sudah menjalin hubungan vertikal kepada Allah harus mem perhatikan hubungan horizontalnya kepada sesama manusia.
Islam sangat tegas dalam menyikapi adanya dwi kepemimpinan dalam tubuh umat Islam. Tidak diperkenankan bagi seseeorang menjadi imam, sedangkan sudah ada imam lainnya yang telah terlebih dahulu memimpin umat Islam.
Hal ini juga menjadi cerminan dari kehidupan bernegara antara pemimpin dan warganya. Tidak bo leh ada dua pemimpin dalam tubuh umat Islam. Dalam hadis lain juga dikuatkan, "Siapa yang membai'at seorang imam (pemimpin), lalu memberikan geng gaman tangannya dan menye rahkan buah hatinya, hendaklah ia menaatinya semaksimal mung kin. Dan, jika datang orang lain yang mencabut kekuasaan itu, penggallah leher orang itu." (HR Muslim).
Abu Bakar As Shiddiq tatkala menjadi khalifah juga pernah berkata, "Tidak halal bagi kaum Muslimin mempunyai dua imam (pemimpin)." Perkataan beliau menjadi ijma' karena tidak ada se orang sahabat pun yang mengingkari Abu Bakar me ngatakan hal itu.
Imam Juwaini mengibaratkan, jika umat Islam dipimpin oleh dua orang imam, sama artinya seorang wali yang menikahkan putrinya dengan dua orang laki-laki. Dalam rumah tangga, laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. Menurut Imam Juwaini, memiliki dua pemimpin sama halnya dengan memiliki dua orang suami. Tentu hal ini merupakan kemungkaran yang jelas keharamannya. Demikian, seperti dipaparkan Dr Muhammad Khair dalam kitabnya Wahdatul Muslimin fi Asy Syari'ah Al Islamiyah. 

Labels:

Hukum Saham dan Bursa Efek dalam Islam

Persoalan saham atau bursa saham belum dijumpai dalam fikih klasik. Pembahasannya baru dijumpai dalam fikih modern pada bagian syirkah dan dikenal dengan istilah syirkah al-asham (perseri katan dalam modal). Saham juga merupakan bahasa Arab yang dikenal dengan musahamah (saling memberi bagian). 
Para ahli fikih modern telah mengatur syarat dan rukun yang harus dipenuhi agar akad musahamah dapat diterima sebagai salah satu bentuk muamalah dalam Islam. Syarat dan rukun tersebut, yakni adanya ijab dan kabul secara jelas. Ijab kabul dengan melakukan transaksi secara nyata berupa penyerahan tanda bukti saham oleh perusahaan kepada peserta dan peserta menyerahkan uang secara tunai kepada perusahaan sebagai tanda keikutsertaannya sebagai pemegang modal.
Kemudian, komoditas yang diperdagangkan perusahaan bukanlah komoditas yang dilarang syarak. Yaitu, perusahaan yang memproduksi benda yang diharamkan syarak, seperti minuman keras dan sejenisnya.
Selanjutnya, kedua belah pihak adalah orang-orang yang cakap bertindak hukum. Lalu, ada persetujuan yang jelas tentang ba gian masing-masing pemilik modal sesuai dengan waktu yang ditentukan. Terakhir, keuntungan dan kerugian yang diderita perusahaan menjadi tanggung jawab bersama sesuai dengan persentase saham masing-masing.
Bentuk akad musahamah yang digambarkan di atas dapat diterima ulama fi kih sebagai salah satu bentuk perdagangan yang diperbolehkan. Namun, terdapat perbedaan pendapat antara para ulama tentang kategori perilaku ekonomi yang ditempuh melalui lembaga bursa efek ke dalam akad musahamah. Terutama, tentang perbedaan penawaran antara harga saham secara nominal dan harga yang ditawarkan.
Misalnya, saham perusahaan A memiliki harga nominal Rp 1.000, lalu saham tersebut ditawarkan kepada masyarakat dengan harga perdana Rp 10 ribu.
Besarnya selisih antara har ga nominal dan harga perdana tersebut berkaitan dengan perilaku ekonomi di bursa efek. Dalam menetapkan harga penjualan suatu saham perusahaan, dimasukkan perkiraan laba (deviden) yang akan dibagi, ditambah dengan ke piawaian direksi mengelola perusahaan tersebut.
Semakin baik pengelolaan dan prospek suatu perusahaan, diperkirakan semakin besar laba yang akan diperoleh, sehingga penawaran harga sahamnya di bursa efek semakin besar. Sekalipun, nilai nominal yang tercantum dalam surat saham itu tetap.
Permasalahan bagi ulama terletak pada kelebihan uang dari harga nominal saham tersebut serta kemungkinan melesetnya perkiraan prospek perusahaan itu. Dalam hal ini terdapat unsur spekulasi yang amat besar.
Unsur spekulasi yang cu kup besar bisa terjadi melalui persekongkolan antara underwriter (penjamin emisi) dan perusahaan pemilik saham, sehingga har ga sa ham perusahaan itu bi sa di permainkan. Bisa juga unsur spekulasi muncul dari si kap sekelompok orang yang memborong saham suatu perusahaan pada saat harganya murah dan menjualnya ketika harga saham itu melonjak. Oleh sebab itu, para ulama mengemukakan berbagai pandangannya tentang hukum jual beli saham di bursa efek.
Menurut salah seorang ekonom Islam dari Arab Saudi Khalid Abdul Rahman Ahmad, saham yang diperjualbelikan di bursa efek tidak dibenarkan syariat Islam. Ia beralasan, selisih uang antara harga saham dan harga nominal tidak diketahui wujudnya dan tidak diperhitungkan keti ka pembagian keuntungan perusaha an itu dibagikan kepada pemilik saham. Karenanya, jual beli saham mengandung unsur penipuan yang besar.
Alasan lainnya, perusahaan yang menjual sahamnya tidak la gi didirikan melalui aktivitas anggota pemegang saham, seperti diatur dalam fi kih muamalah Islam, tetapi telah berubah fung si menjadi perusahaan penim bun kekayaan. Demikian ju ga mengenai batas waktu berakhirnya persekutuan pemilikan saham, tidak jelas (majhul). Unsur ketidak jelasan dalam transaksi apa pun tidak dibenarkan dalam muamalah Islam.
Pendapat tentang haramnya transaksi saham melalui bursa efek juga muncul dari Majelis Fatwa Syariat Kuwait. Alasannya, unsur-unsur syirkah al-asham yang dikenal dalam fi kih Islam tidak terlihat dalam bursa efek.
Di samping itu, dalam kegiatan ini sangat menonjol unsur penipuan (gurur).  Jual beli saham di bursa efek sama dengan menjual buah-buahan di pohon dan belum matang, sehingga unsur spekulasinya terlalu besar.

Labels:

Sunday, September 04, 2005

selamat datang para petualang !

Assalamualaikum Warahmatullhi Wabarakatuh
segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Selawat dan salam semoga tetap tercurah bagi Nabi kita Muhammad saw. Dan juga mengalir kepada sahabat - sahabatnya dan seterusnya bagi pengikutnya yang setia menjalankan sunnah - sunnah Beliau hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah jua, web site ini berhasil jua muncul di internet sebagai wadah informasi dan komunikasi kita sebagai pejuang Allah. Semoga bisa kita manfaatkan sebaik - baiknya demi kelangungan da'wah kita.
Adapun mengenai format yang kurang tepan dan penyajian web site kita yang sederhana ini, smoga dapat kita kembangkan bersama.
Sekian dulu dari ana sebagai shahibul web site. La tansani biddu'aikum ! billahi taufiq wal hidayah, Assalamualaikum warahmatullhi wabarakatuh.
Zagaziq city, 4 september 2005.
Hannan Putra Nursal